Ayanokouji Kiyotaka - Jenius Selalu Menang.

Classroom of the Elite - Jenius Dingin yang Selalu Menang

Last updated: 5 days ago

Di Balik Tatapan Datar Ayanokouji Kiyotaka

Pernahkah kamu melihat seseorang yang begitu biasa, sampai-sampai kamu tidak akan pernah menyangka kalau dia sebenarnya adalah sosok yang paling berbahaya di ruangan itu? Itulah Ayanokouji Kiyotaka. Dari luar, dia terlihat seperti murid SMA biasa—santai, pendiam, bahkan kadang terlihat kurang peduli dengan dunia di sekitarnya. Tapi di balik wajah datarnya, tersembunyi otak yang bekerja seribu kali lebih cepat daripada kebanyakan orang.

Ayanokouji bukanlah orang yang mencari perhatian. Duduk di pojok kelas, jarang bicara, nilai ujian pun selalu pas-pasan—seolah dia hanya ingin menghilang di keramaian. Tapi sebenarnya, semua itu hanyalah topeng. Sebuah tirai tipis yang menutupi rahasia gelap dari masa lalunya… dan cara pandangnya terhadap dunia.

Aku tidak pernah menganggapmu sebagai sekutu sekalipun. Tidak kamu. Tidak Kushida. Tidak juga Hirata. Semua orang hanyalah alat. Di dunia ini, menang adalah segalanya. Selama aku menang pada akhirnya… hanya itu yang penting.

Kalimat itu bukan sekadar kata-kata. Itu adalah cermin dari bagaimana dia melihat manusia lain: bukan sebagai teman, bukan sebagai lawan… tapi sebagai pion di papan catur besar yang hanya dia sendiri yang tahu ujung permainannya.


Masa Lalu yang Dibentuk di “White Room”

Untuk memahami Kiyotaka, kita harus kembali ke awal—ke tempat yang disebut White Room. Sebuah fasilitas rahasia yang bahkan kedengarannya saja sudah tidak manusiawi. Bayangkan sebuah ruangan putih steril tanpa identitas, tanpa suara selain instruksi dingin yang memaksa anak-anak di dalamnya untuk menjadi “sempurna.” Dan di situlah Ayanokouji kecil dibentuk.

Di White Room, tidak ada teman. Tidak ada keluarga. Hanya ada pelatihan fisik brutal, ujian akademik yang mustahil, dan seleksi kejam yang menyingkirkan mereka yang lemah. Satu per satu, anak-anak lain tumbang—gagal bertahan, baik secara fisik maupun mental. Hingga akhirnya, hanya satu yang tersisa: Ayanokouji Kiyotaka.

Dari sana, dia belajar satu hal: manusia hanyalah alat, dan kemenangan adalah satu-satunya kebenaran yang ada. Tidak ada yang lain. Tidak ada konsep “benar” atau “salah,” tidak ada “teman” atau “musuh.” Hanya ada tujuan… dan mereka yang bisa digunakan untuk mencapainya.

Tapi kemudian, sesuatu terjadi. White Room ditutup sementara selama satu tahun. Dan dengan bantuan kepala pelayannya, Matsuo, Kiyotaka berhasil melarikan diri. Dia masuk ke Advanced Nurturing High School—sekolah elit yang katanya bisa menjamin masa depan siapa pun yang lulus dari sana. Tempat di mana dia akhirnya berharap bisa menjalani hidup yang “normal.”

Atau setidaknya, itulah yang dia katakan pada dirinya sendiri.


Topeng Sang Biasa-Biasa Saja

Di sekolah barunya, Kiyotaka sengaja mencetak nilai pas di semua mata pelajaran—tepat 50 dari 100. Tidak lebih, tidak kurang. Hasil yang begitu sempurna dalam ketidaksempurnaannya sampai-sampai terasa mencurigakan. Tapi begitulah dia. Selalu menjaga agar tetap berada di bawah radar, tidak menonjol sedikit pun.

Kesehariannya sederhana: duduk di bangku paling pojok, mengamati kelasnya, sesekali berbicara jika perlu. Bahkan saat diperkenalkan pertama kali, ia hanya berkata singkat, datar, tanpa ekspresi. Tidak ada yang benar-benar menganggapnya istimewa.

Kecuali mereka yang cukup tajam untuk menyadari… bahwa “biasa-biasa saja” seperti itu justru tidak mungkin.

Seorang murid biasa tidak akan mampu menghindari serangan kakak Horikita yang ahli bela diri dengan begitu mudah. Seorang murid biasa tidak akan bisa memanipulasi aturan sekolah untuk menyelamatkan teman sekelasnya dari pengusiran. Dan seorang murid biasa jelas tidak akan bisa mengatur rencana rumit yang mengalahkan kelas-kelas lain dalam ujian bertahan hidup di pulau terpencil.

Semua itu… tanpa pernah sekalipun terlihat sebagai orang yang melakukan sesuatu.


Kejeniusan yang Disembunyikan

Kecerdasan Kiyotaka bukanlah tipe yang suka dipamerkan. Dia tidak butuh pujian, tidak butuh pengakuan. Bahkan, sering kali dia memberikan semua kredit kepada orang lain. Ketika berhasil menyelamatkan Ken Sudō dari pengusiran dengan rencana liciknya, dia malah menyuruh Horikita mengambil semua pujian. Saat kelas mereka menang di ujian bertahan hidup, dia dengan santainya membuat semua orang percaya bahwa itu semua berkat Horikita.

Dia seperti bayangan yang bergerak di belakang layar. Tidak terlihat, tidak terdengar, tapi selalu memegang kendali.

Dan yang paling mengerikan? Dia melakukan semua itu tanpa emosi. Bukan karena dia kejam. Tapi karena baginya, emosi hanyalah gangguan.

Kamu tahu perasaan yang muncul ketika kamu ingin menolong seseorang? Dorongan moral untuk melakukan yang benar? Bagi Kiyotaka, itu semua hanyalah variabel yang bisa dieksploitasi. Dia bisa pura-pura peduli, pura-pura bersahabat… semua demi membangun kepercayaan yang kemudian akan ia gunakan untuk memajukan langkahnya sendiri.

Seperti ketika dia berkata pada Horikita:

“Aku akan menolongmu mencapai Kelas A. Tapi… jangan mengintai kehidupanku.”

Sebuah janji yang terdengar seperti aliansi… padahal sebenarnya hanyalah transaksi.


Manusia Sebagai Alat

Bagi Kiyotaka, dunia adalah papan catur. Dan setiap orang di sekitarnya hanyalah bidak. Beberapa adalah pion yang mudah dikorbankan, beberapa adalah kuda atau benteng yang berguna untuk manuver tertentu, dan sedikit sekali yang mungkin cukup berharga untuk dipertahankan sampai akhir permainan.

Dia bahkan pernah dengan tenang mengakui dalam monolog batinnya:

“Aku tidak pernah menganggapmu sebagai sekutu. Tidak kamu. Tidak Kushida. Tidak Hirata. Semua hanyalah alat. Yang penting adalah aku menang pada akhirnya.”

Dingin? Ya. Kejam? Mungkin. Tapi di dunia yang dia jalani—di mana dia dibesarkan untuk percaya bahwa kekuatan dan kemenangan adalah segalanya—cara pandangnya ini bukanlah hasil pilihan bebas. Itu adalah warisan dari “White Room.”

Dan ironisnya, cara berpikir inilah yang justru membuatnya selalu menang.


Kebebasan yang Dicari

Di balik semua kejeniusannya, ada satu hal yang selalu dia inginkan: kebebasan.
Bukan kebebasan dalam arti fisik—dia sudah bebas dari White Room. Tapi kebebasan untuk hidup sebagai manusia biasa, tanpa harus memikirkan strategi, rencana, atau manipulasi.

Sayangnya, itu hampir mustahil baginya. Lingkungannya terlalu penuh dengan intrik. Orang-orang di sekolahnya selalu saling menjatuhkan demi naik ke Kelas A. Bahkan gurunya sendiri, Sae Chabashira, secara langsung memaksanya untuk serius atau dikeluarkan, atas permintaan ayahnya.

Kiyotaka ingin hidup damai… tapi dunia tidak akan pernah membiarkannya.

Mungkin itu sebabnya, meskipun dia terlihat apatis, dia masih melakukan hal-hal kecil yang menunjukkan bahwa di lubuk hatinya, masih ada sisi manusiawi. Dia menepati janjinya pada Airi Sakura untuk menyelamatkannya dari penguntit. Dia membantu Horikita membuka diri pada teman-temannya. Dia bahkan melindungi Sudō, murid yang awalnya dia anggap menyebalkan.

Apakah itu berarti dia peduli? Atau hanya bagian dari rencananya? Sulit untuk bilang. Bahkan mungkin… bagi Kiyotaka sendiri, batas antara keduanya sudah kabur.


Filosofi Kemenangan

Salah satu monolognya yang paling terkenal berbunyi:

“Jika boleh, saya ingin mengajukan pertanyaan ini: Apakah manusia benar-benar setara? Saat ini, orang tidak pernah tutup mulut tentang perlunya kesetaraan. Seorang pria hebat pernah berkata, ‘Surga tidak menciptakan satu orang di atas atau di bawah orang lain.’ Tapi kutipannya tidak berakhir di situ. Kita sama saat lahir… tapi kemudian celah muncul. Bahwa perbedaan adalah hasil dari upaya akademis seseorang atau ketiadaannya. Kesetaraan mungkin konsep yang salah, tapi ketidaksetaraan kita tetap sulit diterima.”

Itu adalah cara pandang Kiyotaka terhadap dunia: tidak ada kesetaraan. Tidak semua orang dilahirkan sama. Beberapa lahir untuk menang, dan sebagian besar lainnya… hanya lahir untuk menjadi tangga bagi pemenang itu.

Di dunia seperti itu, bersikap baik, peduli, atau naif hanyalah cara untuk menjadi mangsa.


Sang Bayangan yang Tak Terbendung

Meski dia mencoba untuk hidup biasa, pada akhirnya, sifat asli Kiyotaka tidak bisa dipadamkan. Dia adalah hasil dari eksperimen yang menghapus “kelemahan manusiawi” dari dirinya. Dia bisa membaca bahasa tubuh orang, memprediksi reaksi mereka, bahkan memanipulasi situasi kompleks seolah semua itu hanyalah teka-teki sederhana.

Tidak peduli seberapa keras dia berusaha bersembunyi, kecerdasannya selalu memancar keluar di saat-saat genting:

  • Mengalahkan rencana kelas A dan C dalam tes pulau dengan strategi licik yang bahkan tidak disadari teman-temannya.
  • Menghindari serangan Manabu Horikita—seorang ahli bela diri—dengan gerakan yang nyaris mustahil untuk murid SMA biasa.
  • Memanipulasi aturan sekolah untuk membalikkan keadaan tanpa pernah sekalipun melanggar peraturan.

Semua itu dia lakukan tanpa pernah terlihat berada di garis depan.


Ayanokouji: Misteri yang Tak Terpecahkan

Siapa sebenarnya Kiyotaka Ayanokouji? Seorang jenius dingin yang menganggap manusia sebagai alat? Seorang korban eksperimen kejam yang hanya ingin hidup damai? Atau kombinasi keduanya?

Yang jelas, dia bukan tipe karakter yang mudah dipahami. Bahkan orang-orang yang paling dekat dengannya—Horikita, Kushida, Hirata, bahkan Airi yang menaruh perasaan padanya—tidak benar-benar mengenalnya. Mereka hanya melihat topeng yang dia pilih untuk tunjukkan.

Di balik semua itu, mungkin hanya ada satu kebenaran sederhana:

Ayanokouji Kiyotaka adalah seseorang yang akan selalu menang.
Bukan karena dia ingin menjadi pahlawan. Bukan juga karena dia ingin jadi penjahat. Tapi karena di dunia yang tidak mengenal kesetaraan, dia adalah pemain terbaik di papan catur yang bahkan orang lain tidak tahu sedang mereka mainkan.


Dan pada akhirnya, mungkin itulah yang paling menakutkan tentang dirinya.

Dia tidak perlu menguasai dunia. Dia hanya perlu berada di sana… duduk di pojok, tersenyum tipis, seolah tidak ada yang terjadi. Dan sebelum kamu sadar, semua benang permainan sudah ada di tangannya.


“Selama aku menang pada akhirnya… hanya itu yang penting.”
Kalimat itu terngiang, mengunci esensi siapa sebenarnya Ayanokouji Kiyotaka:
Seorang bayangan di antara cahaya. Seorang jenius yang memilih untuk tidak terlihat. Dan sosok yang akan terus jadi misteri, bahkan bagi mereka yang paling dekat dengannya.